Author : Hanna Tazkiya
Genre : Romance, Tragedy, School Life.
Aku menyipitkan mataku. Demi Tuhan! Kenapa aku tidak bisa melepaskan pandanganku dari gadis itu? Menyedihkan sekali…
Aku
menggeleng pelan dan mencoba mengalihkan pandanganku pada novel yang
tengah kutekuni. Menelusuri huruf demi huruf. Untuk mengalihkan
pikiranku dari gadis berambut hitam gelap panjang lurus dan keriting
gantung menyentuh pipi mulusnya yang tanpa noda sama sekali itu dengan
pelan sambil terbawa angin. Mata biru besarnya terang dengan tawa
indahnya yang keluar dari bibir mungilnya.
Baiklah. Hebat. Aku tidak bisa mengalihkan perhatianku. Novel ini tidak berhasil mengalihkan perhatianku.
Aku mengacak rambutku. Apa yang terjadi padaku ? Seorang aku yang
merupakan primadona gadis-gadis di sekolah ini mendadak tertarik pada
satu perempuan yang… biasa saja. Tidak terlalu populer. Tapi dia cantik.
Cantik sekali dimataku…
“Kau memandanginya lagi,” tiba-tiba suara menyebalkan
yang kukenal menusuk-nusuk kupingku. Aku memandangnya dengan kesal.
Disana berdiri, sosok pria jangkung berdarah Amerika-Jepang bertubuh
agak kekar dan memakai kaos putih dengan bawahan jins hitam dan rambut
acak-acakan sambil memakan kripik kentangnya menatapku dengan tatapan
aneh. Dia memang aneh.
“Apa sih maumu? Menggangguku saja…
Fred”, kataku setengah bercanda pada sahabat karibku ini. Fred Alvin
memandangku dengan tidak percaya lalu memutar matanya.
“Menggelikan,”
komentarnya yang spontan membuatku berbalik kearahnya. Ia kembali
memakan kripiknya dengan super acuh. Lalu memandangiku.
“Apa? Mau protes? Oh ayolah, brad.
Kau tau persis kau… Menggelikan.” Katanya mengambil kaca lalu
dicondongkan kepadaku sambil menelan kripiknya. Aku menyipitkan mata
lalu mendengus tertawa.
“Yang benar saja”
“Kau
suka padanya. Kau suka pada seorang perempuan bernama Mishi Nakagama.
Pindahan dari Kyoto dan kau memikirkan kalau kau dan dia. Bersama-sama.
Di Apartemenmu—“
“Hentikan.”, kataku muak. Menyebalkan!
Kenapa sih dia ini selalu saja membuatku kesal setengah mati. Apa-apaan
kalau ada yang mendengar ucapannya yang bodoh itu? Dan hei! Aku tidak
memikirkan—
Mendadak wajahku terasa panas lalu mengalihkan wajahku. Fred Alvin. Kubunuh kau.
“Maaf, brad.
Ya. Aku tau kau nggak semesum itu kalau aku yang gantian memikirkannya.
Maksudku, ya Tuhan! Lihatlah dia..! Woow… tubuhnya bahkan lebih
menggoda dari Paris Hilton!”, pekik Fred semakin menjengkelkan. Aku
menyipitkan mata kearahnya. Dasar hidung belang cap Amerika Latin!
“Daripada
kau memikirkan Paris Hilton, lebih baik kau menyingkir dari
pandanganku. Aku mual memandangmu. Sana. Urus saja si Maria Himeno. Aku
yakin dia—“
“Astaga! Maria! Benar! Aku sudah membuatnya
menunggu di Café Latte selama 2 jam! Aku lupa, braaad! Sialan! Ah
baiklah kalau begitu, buh bye!”, katanya sambil bergaya sok imut dan ngacir ke Café Latte yang memang ada di kantin sekolah kami.
Aku
menggeleng pelan. Dasar pelupa. Bisa-bisanya dia membiarkan ceweknya
menunggu selama itu padahal dia sendiri yang buat janji. Makanya aku
heran. Kok bisa mereka pacaran selama 2 tahun ? Maria bisa bertahan
dengan cowok kampung dan pelupa begitu? Hahaha… yang benar saja. Oke.
Fred Alvin memang tampan… untuk ukuran seorang Fred. Kalau kau pintar, kau pasti mengerti maksudku…
Aku
kembali memandangi gadis itu. Mishi Nakagama yang masih tertawa bersama
teman-temannya. Memandang senyumnya itu membuatku tersenyum juga.
Mishi Nakagama. Kapan aku bisa bicara denganmu? Sebentar saja… sebentar saja…
***
Aku benci Valentine.
Aku
memandangi lokerku yang sudah sangat penuh dengan coklat, surat dan
berbagai macam bunga didalamnya. Apa-apaan? Cewek-cewek tolol ini begitu
menjengkelkan. Aku. Nggak suka. Coklat. Kesimpulan : aku nggak suka
manis. Menjijikan…
“ITU!! IRUMO-SENPAAAAI!!!!”
Aku
memandang ke belakang. Segerombolan anak cewek kelas 1 dan kakak kelas 3
nampak memandangku seperti ingin menerkamku saja. Oke, saatnya kabur.
Dalam hitungan 3… satu… dua…
KELAMAAN!!
Aku
lari secepat kilat kekamar mandi cowok dimana aku bisa aman. Tentu saja!
Mereka benar-benar gila kalau mereka mau mengejarku sampai kekamar
mandi cowok! Oh yang benar saja!
“Kyaaa!!! Jangan lari, doong~ aku mau kau menerima coklatku secara langsung~! Irumo-senpai!!!”
“Hei ! Kalian anak kelas 1 minggir dong! Biarkan kami lewat! Irumo-chaan!!!! Jangan kabuur~! Kembali!!!”
Yep.
Begitulah. Aku nggak peduli. Nyawaku diambang kehancuran! Dan
sepertinya Dewi Fortuna sedang berbaik hati padaku dan pintu WC cowok
terbuka lebar sebelum…
“Sial…”
Salah seorang
Office Boy menutupnya dengan alasan WC-nya mau dibersihkan. Oke, aku
tarik kata-kataku. Dewi Fortuna sedang mengutukku hari ini. Oh, Well khususnya… Pagi ini.
***
“Pfft…”
“Jangan
ketawa. Kubunuh kau.”, ancamku jengkel sambil membersihkan bajuku dari
berbagai tetesan coklat yang menempel. Fred Alvin memandangku dengan
mata elangnya. Lalu nyengir. Cengiran itu ingin membuatku menonjoknya
saja. Oke. Tadi aku dikroyok oleh coklat… dan si berengsek yang mengaku
sebagai sahabat karibku ini malah tertawa diatas penderitaanku.
“Hahahahahahaa!!
Ya Tuhan! Aku nggak tahan lagi!”, tawa Fred meledak. Aku meliriknya
sinis. Nah, kan? lihat ? betapa menjengkelkannya dia. Dan oh pastinya
menyedihkan.
“Hahahahaha… hey hey ayolah jangan melirikku begitu. Nikmati saja, brad . Anggap saja itu hadiah lain dari Tuhan. Kau dan wajah tampanmu.”, kata Fred. Aku diam saja.
“Kalau
aku jadi cewek, aku juga pasti suka padamu, loh!”, kata Fred. Aku
melotot kali ini dan menjaga jarak darinya beberapa senti. Dia gila.
Benar-benar sinting. Dan itu membuatnya tertawa lebih keras lagi. cih.
Menjengkelkan!!
“Kenapa sih kau nggak mati aja?”, desisku sadis.
“Aku belum mau mati, brad
. Aku dan Maria belum nikah dan belum punya anak banyak. Aku mau punya
11 anak hmm atau 15? Mana menurutmu yang lebih baik? Aku mau memberi
nama mereka Filly, June ya kalau dia lahir dibulan Juni, lalu Michael,
lalu-- ”, oceh dan tanyanya polos. Aku melotot sekali lagi. demi Tuhan!
Orang ini sinting!
“Dalam kondisi Jepang yang kebanyakan
penduduk begini, kau masih memikirkan punya anak banyak? Hah. Kau pikir
kau bisa menghidupi mereka dengan baik? Jangan bercanda.”, kataku
meledek. Dia memegang dadanya sendiri pura-pura sakit hati.
“Hei,
hei! Enak saja ngomongmu! Walau punya anak banyak, aku tetap bisa
membiayai mereka tau! Dan… HEI! Aku akan jadi ayah yang baik!! Ingat itu
dikepalamu, Irumo Saito.”, protesnya. Aku terdiam tidak merespon. Benar
juga. Fred Alvin. Keluarga pengusaha super kaya yang menetap di Jepang.
Dan bahasa Jepangnya enggak jelek-jelek amat, kok…
“Umm…”,
tiba-tiba suara manis seorang cewek terdengar ditelingaku. Mataku
membulat sempurna dibalik kacamataku mendapati siapa yang datang.
Begitupun Fred yang lalu menyenggol-nyeggol tanganku dengan pelan.
Mishi Nakagama. Disana. Berdiri. Memandangku. Dan. Dia. Membawa…
SEBUAH KOTAK SILVER YANG MANIS.
“O-oh…
Mishi, ya…? Ada apa?”, tanyaku berusaha terlihat senormal mungkin
dihadapannya. Wajah manisnya nampak sedikit memerah dipipi.
“Kamu tau… namaku?”, tanyanya lamat-lamat. Aku mengangguk.
“Tentu saja.”, kataku.
“Dia
kan selalu memperhatikanmu,” tambah Fred. Aku menyenggol bahunya dengan
keras. Dasar ember bocor ! Ia meringis lalu nyengir kembali. Aku
benar-benar akan membunuhnya. Lihat saja… lihat saja!
“Lupakan
kata-kata si bodoh ini. Hahaha…”, kataku berusaha menyembunyikan rasa
maluku gara-gara Fred. Mishi tertawa kecil yang membuatnya semakin manis
saja.
“Aaa… ini. Kalau… Irumo mau… Ak-aku, membuat coklat
yang err—sebenarnya kubuat sendiri, sih… Jadi m-ma-maaf ya kalau nggak
enak…”, katanya sambil menggaruk belakang kepalanya lalu menyodorkan
kotak silver itu padaku dengan wajahnya yang masih malu-malu. Aku tidak
bisa menyembunyikan semburat merah dipipiku sekarang. Fred sudah cengok
daritadi memandang keberanian Mishi. Aku tahu, aku tahu. Aku juga mau
cengok begitu, Fred!
“Ah… itu sih…”, aku mengambil coklat pemberiannya dan memandangnya dengan lembut.
“Makasih, ya…”, kataku. Dia mengangguk gugup lalu mengedipkan matanya yang indah.
“Aku… tadi… nggak mau desak-desakan… jadi aku nunggu Irumo sendiri dulu…”, katanya sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya.
“Aku mengerti.”, kataku. Dia mengangguk lalu berjalan mendahuluiku dan Fred.
“Wah… brad! *Non praedictio!! (nggak disangka-sangka!)”, Fred memekik tak percaya. Aku diam saja. Masih terpesona.
“Perkembangan yang baik, ya!”, kata Fred bertepuk tangan. Aku menelan ludahku sendiri lalu tersenyum tulus.
Yah. Mungkin Valentine nggak jelek-jelek amat kok…
“Badannya lebih bagus dari Madonna ternyata!”, pekik Fred lagi. deg. Aku baru ingat. Aku menatap Fred dengan beringas.
“Kubunuh kau…”
dengan begitu, Fred kabur.
***
Aku
menggosokkan tanganku sambil meniup-niup tanganku yang dingin. Aku
nggak percaya ini. Dihari Valentine. Ternyata pukul 5 sore hujan!
Menyebalkan sekali.
Dingin.
Aku berteduh
dibawah atap halte bus yang kosong. Sambil menunggu hujan berhenti. Aku
menatap kotak silver yang diberikan Mishi. Aku tersenyum. Lalu
membukanya. Disana ada coklat berbentuk kotak-kotak kecil. Aku
mengambilnya satu dan memakannya. Oke. Mungkin aku sekarang nggak begitu
membenci coklat, kok.
Imajinasiku melayang. Kira-kira… maksud coklat ini apa, ya ? Kenapa tiba-tiba saja—
“Enak,
nggak coklat buatanku?”, tiba-tiba suara itu muncul lagi. aku
mengerjapkan mataku mencoba sadar. Berdiri disana. Seorang Mishi
Nakagama.
“Mishi…”
“Hei. Enak nggak? Malah memanggilku…”, kikiknya geli.
“Enak, kok. Bahkan sebaiknya kupikir kau membuka toko coklat. Aku yakin laku…”, candaku. Dia tertawa sambil menepuk bahuku.
“Irumo-san bisa saja…”, katanya. Oh Tuhan. Sungguh gadis yang sopan…
“Irumo saja cukup…”, ralatku. Dia berdeham lalu tersenyum. “Ya,”
“Ngomong-ngomong, kau belum pulang? Bukannya setahuku Ji Yu Min-sensei nggak masuk tadi?”, tanyaku. Dia mengangkat bahu.
“Aku nggak mau cepat-cepat pulang kerumah…” katanya. Aku memandangnya.
“Aku tau ini nggak sopan nanya… tapi… kenapa?”, tanyaku.
“Aku
nggak mau minum obat,” sergahnya sambil duduk disampingku. Ia
memandangku dengan mata birunya. Mata coklatku balik memandangnya.
“Obat? Kamu sakit?”, tanyaku. Dia menundukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Iya. Flu.”, katanya. Aku membulatkan bibirku. Flu? Dia nggak nampak seperti orang flu.
“Ooh…
ya memang harus minum obat agar kau sembuh, kan? hanya flu, sih paling
seminggu juga beres…”, kataku terdengar seperti penasihat ayahku. Dia
memandang langit yang mulai gelap sambil tersenyum.
“Iya… Irumo benar.”, katanya. Aku menatapnya. Aku punya firasat gadis ini bohong.
“Tapi, kau nggak kelihatan seperti orang flu?”, akhirnya aku melontarkan penasaranku. Dia agak kaget dengan pertanyaanku.
“Umm… yah. Udah hampir sembuh sih…”, katanya. Aku mengangguk.
“Besok…
mau berangkat bersama, tidak?”, tanyaku pelan-pelan. Aku punya firasat
dia ini berbeda dengan gadis-gadis tolol dan aneh yang suka
mengejar-ngejar aku di Sekolah. Aku merasa aku harus ekstra hati-hati
bicara dengannya.
Dia memandangku nggak percaya. Semburat merah dipipinya nampak. Demi Tuhan… aku mau memeluknya…
“A—boleh…
memang rumahmu dimana?”, tanyanya. Aku membuka mulutku tapi menutupnya
lagi. aku nggak mungkin bilang kalau aku pernah mengikutinya sekali
karena aku penasaran dimana rumahnya yang ternyata searah denganku. Aku
nggak mau dicap penguntit ‘kilat’ oleh gadis yang kusuka.
“…
aku pernah nggak sengaja lihat kau lewat jalan yang sama denganku,”
kataku akhirnya. Dia ber-‘ooh’ dia. Aku lega. Punya otak keren…
“Dengan senang hati,” jawabnya sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya.
Oh Tuhan, dekatkanlah aku padanya…
-TO BE CONTINUE-
Part 2, Part 3[End]
Www.Mantep.Boss/tapi-terlalu-panjang-mo-dibaca.php
BalasHapusCerita fanfic aya gini kan bebas dan sesuai kreatuvitas author :)
BalasHapusdatang lagi ya... ^_^