Posted by : Sagasano
Kamis, 08 Desember 2011
Tag :// Fanfic
Author : Hanna Tazkiya
Genre : Romance, Tragedy, School Life.
Hari ini mataku lebih berat dari biasanya. Aku nggak bisa memejamkan mataku sama sekali tadi malam. Malah aku cuci muka dengan air mataku. Bisa jadi itu menyedihkan atau bahkan justru yang menyedihkan adalah keadaan! Aku mau menyalahkan keadaan.
Aku mengacak rambutku sepanjang perjalanan kesekolah. Persetan dengan malu. Persetan dengan harga diri. Aku nggak mau sok jaim hari ini. Aku mau meluap. Pasangan-pasangan mata itu nggak membuatku gentar untuk memperlihatkan kalau aku lagi kesel!
Aku melempar tasku sembarangan kearah bangkuku. Mata biru baby milik Mishi memerhatikanku dengan seksama. Aku nggak mau menatapnya hari ini, sama sekali nggak mau. Aku nggak sanggup…
“Irumo?”, panggilnya. Sebisa mungkin aku pura-pura tidak mendengarkannya. Aku pura-pura sibuk dengan kertas tugasku yang sebenarnya sudah selesai. Dia masih menatapku lalu menarik ujung bajuku dengan pelan.
“Irumo?”, panggilnya sekali lagi. demi Tuhan! Pergilah… aku sedang bimbang pada diriku sendiri, Mishi. Maafkan aku. Maaf. Aku menatapnya sekilas sebelum kembali kekertas tugasku. Dia terdiam.
“Kamu kenapa? Matamu sembab dan berkantung hitam? Kamu sakit? Atau ada masalah?”, tanyanya beruntut. Aku ingin sekali memeluknya sambil minta maaf padanya berkali-kali karena aku lancang mencari tahu. Tapi…
“Nggak apa-apa.”, kataku. Aku sendiri kaget dengan mulutku yang bicara spontan begitu. Apalagi aku bisa merasakan suaraku mendecit dingin. Sialan. Apa-apaan ini? Aku kerasukan apa?
“Ooh…”, dia menatapku kecewa. Aku masih pura-pura sibuk dengan kertasku.
“Tugas dari Shuei-sensei ya ? Irumo bikin tentang apa?”, tanyanya lagi.
“Larutan Aluminium Foil,” kataku pendek. Kumohon, aku nggak mau menyakitinya lebih dari ini. Aku nggak bisa…
“… Maaf,”, hanya itu yang terucap dari bibir gadis itu lalu dia berlalu. Aku menghela nafas. Antara lega dan sedih.
Oh Tuhan, apa yang kulakukan?
Fred menatapku seolah-olah aku orang sinting. Whatever.
***
“Daritadi kamu aneh.” Komentar Mishi. Aku menatapnya. Maksudnya apa?
“Hah?”
“Apa salahku?” tanyanya. Aku terdiam sesaat lalu menghela nafas panjang,
“Aku… mau bicara denganmu…” kataku pada akhirnya. Mishi nampak menungguku .
“Maaf…”, hanya kata itu yang terucap dari bibirku. Mishi menatapku bingung.
“Loh? Bukannya seharusnya aku yang minta maaf? Kupikir aku—“, aku menyumpal mulutnya dengan bibirku sebelum dia bicara lebih aneh.
“Iru—“ aku menggeleng sebelum dia bicara.
“Aku… minta maaf. Aku tahu, ini… agak lancang. Tapi…” aku takut-takut menatapnya.
“Aku menyukaimu. Dan aku tahu kamu punya penyakit...” aku nggak kuasa melanjutkannya. Dia terdiam. Lalu tersenyum sedih.
“Aku… nggak marah padamu. Tapi… aku nggak bisa bersama denganmu,” jawabnya. Bisa bayangkan gimana perasaanku? Aku ditolak cewek yang kusukai. Hebat sekali.
“Aa? Kenapa?” tanyaku akhirnya. Dia agak salah tingkah.
“Aku… harus pergi,” senyuman sedihnya bertambah-tambah. Aku terdiam.
“Maksudmu….”
“Ya. Aku harus ke Amerika untuk pengobatan ini. Aku nggak bisa memberimu harapan dengan kondisiku yang seperti ini. Aku nggak akan bisa membuatmu bahagia bersamaku, Irumo. Aku bukan yang terbaik. Aku selalu begini. Aku… akan pergi.” Katanya lagi sembari menitikan air matanya. Aku mengusap air matanya. Terdiam. Cukup lama.
“Aku mau menunggumu,” kataku pada akhirnya. Dia menatapku nggak percaya lalu tertawa pelan.
“Jangan, Irumo… aku nggak ingin membuatmu tersiksa. Aku… nggak bisa menemani saat kamu sedih, saat kamu bahagia… atau saat kamu kebingungan. Aku hanya akan jadi bebanmu saja” katanya. Oh Tuhan, terima kasih kau sudah mempertemukan aku dengan gadis sebaik dia.
“Aku nggak pernah bilang kamu adalah bebanku, Mishi. Aku mencintaimu. Dan hanya itu yang aku tahu. Aku nggak akan mengharapkan kamu ada saat aku sedih, senang atau apalah itu. Aku hanya mengharapkan kamu terus ingat aku dan itu yang terpenting…” kataku tulus.
Dia menatapku. Lama. Ada rasa haru dan senang dalam sorot matanya yang indah. Ia tersenyum.
“Kamu yakin?” tanyanya memastikan. Aku mengangguk. Oh tentu saja. Aku nggak pernah seyakin ini sebelumnya.
“Arigatou…” katanya sambil tersenyum manis sebelum memelukku.
“Aku akan menunggumu… pada malam Tahun Baru dibawah pohon sakura…” janjiku. Dia tersenyum.
“Tempat kesukaanku.”
---
2 tahun kemudian…
Aku melihat bunga sakura mulai bertebaran dimana-mana. Banyak anak kecil yang berlari-lari kecil dengan riang karena mendapatkan uang angpao yang banyak. Banyak juga keluarga yang membakar ubi di taman-taman kota. Aku tersenyum kecil sambil melangkahkan kakiku dengan pasti. Jaket tebal-ku menutup permukaan tubuhku dengan hangat.
Ini-lah ritualku setiap Tahun Baru datang. Ini sudah jam 6 sore. Tapi, aku mau menunggu seperti biasa ; dibawah pohon sakura pada malam Tahun Baru.
Ini sudah tahun ke 2. Tapi, Mishi belum juga datang menemuiku. Tapi, tidak masalah. Aku kan sudah berjanji akan menunggunya. Dia juga janji akan datang.
Aku melirik toko aksesoris. Kelihatannya bagus juga. Aku masuk kedalamnya mengingat Fred menitipkan 2 gantungan kunci kurcaci atau err—kerdil? (atau apalah…) katanya untuk dia dan Maria. Yah. Mereka sudah tunangan. Aku sama sekali nggak nyangka Maria tahan dengan cowok bego begitu. Hahaha.
Aku nyengir sambil menggelengkan kepala lalu mulai mencari gantungan kunci yang dimaksud Fred. Lalu mataku terpaku pada gantungan putri berambut hitam kecoklatan lurus dan bermata baby-blue sambil tersenyum hangat dengan keranjang apel yang dibawanya. Sekilas aku terdiam. Gantungan kunci itu mirip Mishi. Aku menyentuhnya lalu mengambilnya.
Aku tersenyum lalu memasukinya kedalam keranjang belanjaanku. Tentunya dengan 2 boneka Fred. Aku menemukannya dengan mudah, loh. Jangan salah. Biar begini ‘kan, aku sering mengantar Maria kemari untuk memberi Fred hadiah. Makanya aku tahu.
Aku kearah meja kasir lalu menaruh keranjangku disana. Pelayan itu tersenyum padaku yang aku balas dengan anggukan sopan. Aku mengambil ponselku lalu mendapati 3 pesan masuk.
From : Fred Alvin (fred_alvine@yahoo.com)
Subject : Gantungan Kunci
Message : Hei! Gantungan kuncinya ada, nggak? Aku sudah nggak sabar memberikannya pada Maria, tahu! Mengerti sedikit perasaan pasangan baru seperti kami! Oh ya, note : Masih ritual? :D
Aku mendengus membacanya. Dasar bego. Nggak sabaran. Aku kan baru saja 15 menit. Seperti sudah menunggu 15 tahun saja. Dan apa maksudnya dengan pasangan baru? Dia kan belum menikah… Aku menghapus pesannya lalu mengecek 2 sms lainnya.
From : Maria Himeno (may.maria@yahoo.com)
Subject : (no subject)
Message : Hey, dear. Maaf Fred nggak sabaran. Aku sudah memperingatkannya. Jadi jangan mencekokiku dengan nasehat gilamu, ya! Haha, oh ya, kamu masih menunggu Mishi? Semoga tahun ini dia datang. Amen. ^^
Aku tersenyum membacanya. Lihat? Aku heran cewek baik begini bisa pacaran dengan cowok sebodoh Fred dan seaneh Fred. Aku membalasnya dengan singkat.
To : Maria Himeno (may.maria@yahoo.com)
Subject : (no subject)
Message : Aku tahu. Tenang saja. Ah ya. Terimakasih. Amen. Happy new year.
Send.
Aku mengecek sms-ku yang satunya. Kali ini mataku menyipit. E-mailnya aku nggak kenali.
From : (unknown )
Subject : (no subject)
Message : Irumo ? Maaf sebelumnya aku main kirim e-mail saja, tapi… aku mencintaimu. Ingat selalu aku, ya.
Hah?
Aku mendengus. Cewek-cewek tolol. Darimana, mereka mendapatkan alamatku, sih?!
Daripada memikirkan itu, ini sudah jam 9. Aku harus segera kebawah pohon Sakura.
Dengan semangat pasti, aku melangkahkan kakiku lagi.
***
Wangi bunga sakura sudah menyeruak kehidungku. Hah, ini benar-benar menyenangkan. Aku melangkahkan kakiku. Tapi, mataku menyipit menyadari sesuatu. Ada sebuah kotak sangat besar terbuat dari… kaca? Peti-kah?
Aku mempercepat langkahku untuk melihatnya. Disamping peti itu, ada dua orang tua sedang menangis pilu. Aku mengangguk sopan lalu bertanya dengan hati-hati,
“Ada apa?” tanyaku. Mereka menatapku lalu menunjuk peti mati itu. Aku mengenyit lalu membuka tirai kecil yang menjuntai menutupi peti itu.
“…”
Aku tak sanggup berkata-kata. Disana terbaring dengan tenang, sosok wanita berambut hitam lurus kecoklatan dan kulit putih pucat… bulu mata yang lentik… dan disana terukir dengan indah,
Mishi Nakagama
16 Desember 1990 – 30 Desember 2008
“Astaga… demi Tuhan… ini…” aku membekap mulutku sendiri. Kaget. Dan terpukul. Sangat terpukul. Tak bisa kukendalikan, air mataku mulai turun satu persatu dari mataku. Aku menatap gadis yang paling kucintai didunia ini tergeletak tak berdaya didalam peti itu. Aku lantas membuka peti itu sekuat tenagaku dan berusaha tidak menangis lebih dari ini.
“Mishi…” kupanggil namanya. Tapi tubuh itu tetap tak bergeming. Aku benar-benar merasa duniaku hancur. Rasanya aku mau mati saja.
“Dia… terus memikirkanmu. Dalam pengobatan, dia begitu semangat sembuh. Karena memikirkanmu, nak.’’ Tiba-tiba wanita yang tadi menangis datang. Ternyata, itu adalah ibunya Mishi. Matanya sembab sehabis menangis sepertinya. Aku tidak menatapnya. Tidak punya tenaga untuk menggerakkan otot leherku.
“… Kau terus menjadi semangat hidupnya melawan kanker ganas itu… dia begitu semangat untuk hidup. Sampai dia bertemu denganmu, dia hanya menitipkan ini kepadaku…” kata seorang pria disebelahnya yang aku yakin adalah ayahnya Mishi. Aku mengambil kertas yang disodorkannya. Aku mulai membacanya.
Irumo… halo. Apa kabarmu? :)
Baik-baik saja, bukan? Aku harap kamu selalu sehat dan tertawa seperti biasanya. Hehe. Soalnya, kalau Irumo sedih kan jadi jelek. Nggak ganteng lagi dimataku. Hahaha.
Aku sudah lihat foto-fotomu.
Irumo! Aku sungguh merindukanmu. Suasana disana. Aku rindu teman-teman sekolah. Kekonyolan yang sering dibuat Fred… semuanya! Aku kangen semuanya! Aku lebih kangen sama Irumo loh! Hahaha! Habisnya, di Rumah Sakit ini nggak enak. Suster-suster itu selalu memasang alat aneh padaku dan menyebabkanku mengalami kantuk yang hebat dan nggak sadar apa-apa. Kepalaku jadi pusing deh!
Irumo… sebelumnya, aku mau memberitahumu sesuatu.
Aku… sebenarnya selalu memperihatikanmu… aku memang payah karena tidak bisa mengatakkannya karena penyakit ini. Aku sedih sekali. Aku menyedihkan sekali, ya?
Irumo…
Maaf sebelumnya kalau aku terlalu memberimu harapan untuk kembali, dan nyatanya kini aku meninggalkanmu untuk selamanya. Aku tahu bakal begini. Makanya… makanya aku merasa bersalah sudah tega pergi begitu saja tanpa menjawab perasaanmu terlebih dulu. Aku benar-benar tidak sengaja melakukannya. Ini semua takdir.
Tapi, kamu tenang saja, Irumo.
Semua kenangan dan momen kita… semuanya terekam jelas didalam otakku.
Aku ingat pertama kali melihatmu saat kelas 2 dan kamu terlihat sangat keren…
Aku ingat saat pertama kali kamu mengajakku bicara.
Aku ingat… saat kamu menyatakkan perasaanmu.
Dan aku selalu ingat kalau… kamu begitu mencintaiku.
Karena aku juga mencintaimu, Irumo.
Seumur hidupku…
Terima kasih sudah mencintaiku sampai sejauh ini…
Aku tidak mau ada kata berpisah diantara kita.
Selamat tinggal… aku selalu mencintaimu, Irumo…
Aku bergetar hebat membacanya. Aku tidak akan bersedih lagi. Lihat saja, lihat saja, Mishi! Aku akan menepati janjiku untuk selalu tertawa seperti yang kau katakan. Aku tersenyum bahagia. Cintaku dia bawa sampai mati.
Aku menatap kedua orangtua Mishi sambil mengusap air mataku. Tiba-tiba aku teringat e-mail tidak dikenal itu. Jangan-jangan…
“Permisi, boleh aku tanya?” tanyaku. Mereka mengangguk.
“Mishi… pernah mengirim e-mail sebelum dia… pergi?” tanyaku agak pilu. Ayahnya menatapku.
“Memang benar… 1 jam sebelum dia pergi, dia meminjam laptop-ku dan mengirim e-mail entah pada siapa. Memangnya ada apa, nak?” tanyanya. Aku terdiam sebelum mengembangkan senyum sambil melirik Mishi yang terbaring cantik di peti mati itu.
“Bukan apa-apa…”
Aku mencium kening Mishi sekali lagi lalu mengusap kepalanya sambil merogoh ponselku menatap e-mail tersebut. Takkan kuhapus seumur hidupku. Aku memencet tombol ‘reply’ dan mengetikkan beberapa kata,
Selamat jalan, Mishi. Aku mencintaimu...
Aku memejamkan mataku saat e-mailku terkirim. Biarlan kelabu yang membacanya. Biarlah bayang-bayang menjadi saksi. Aku menatap lembut kearah Mishi lalu merogoh gantungan kunci yang mirip dengannya.
“Happy New Year, my Angel…”
~end~
Part 1, Part 2