Author : Hanna Tazkiya
Genre : Romance, Tragedy, School Life.
Kenapa hari ini kelas sepi ?
Aku mencari sosok-sosok makhluk-makhluk bernama manusia disekitar
kelasku. Nihil. Tidak ada orang satupun. Aku menatap jam dinding di
kelasku lalu menepuk dahiku kencang-kencang. Benar-benar sial.
Aku teringat kejadian tadi pagi-pagi sekali…
“Irumo! Bangun ! Sudah jam 6 lewat 45 !!” teriak ibuku dari bawah. Aku
melongo. Seingatku, aku baru saja tidur sejam yang lalu. Memang otakku
yang error atau memang kenyataannya sudah jam segitu?
Tanpa ba-bi-bu lagi, aku menyambar kemejaku dan segera bersiap-siap.
Baiklah. Langsung saja. Ternyata jam rumahku kacau. Lebih cepat 30 menit dari jam normal.
Ini hebat. Dan cemerlang.
Aku mendelik berkali-kali berusaha menyeimbangkan tubuhku yang masih
oleng-oleng akibat bangun terlalu pagi. Aku mengaku, deh. Aku nggak
terbiasa bangun sepagi itu. Dan aku capek. Lupa memberitahu, aku suka
menonton film horror kesukaanku sampai larut malam.
Dan itu bukan ide yang bagus.
Tapi setelah aku mencoba tidur berkali-kali dikelas. Nihil. Nggak bisa.
Satu hal yang perlu kau catat dalam otak pintarmu ; Tidur dikelas
bukan ide yang baik karena berdebu dan jangan pernah dekatkan hidungmu
pada bangku didepanmu karena itu cukup menyakitkan.
Lelah tersiksa begini, aku bangkit lalu menatap keluar jendela. Aku
melihat awan-awan merangkak menghindari matahari. Dan aku nggak tau
kenapa, awan tersebut mengingatkanku pada Mishi.
Jangan komentar kalau aku berlebihan, ya…
Kenyataannya begitu. Kulitnya lembut. Dia cantik. Jatuh cinta ternyata
memang benar-benar jauh dari definisi aib, bukan? Kurasa hanya beberapa
orang menyedihkan yang sependapat denganku. Hahaha…
“Irumo?”, aku menoleh siapa yang memanggilku. Aku menelan ludahku atas lamunanku. Memang menyedihkan.
“Mishi…”
“Kok sudah datang? Tumben?”, tanya Mishi. Tunggu, tunggu? Tumben? Apa
selama ini aku dicap tukang telat oleh cewek yang kusukai?
“Ah, itu…”, aku nggak mungkin bilang kalau jam rumahku ngaco dan aku ngantuk-ngantukan ke Sekolah? Memalukan.
“… Mendadak ibuku mau kerja lebih awal. Jadi, daripada nggak ada orang
dirumah, aku pergi kepagian… ahahaha…”, kataku. Yep! Oke, alasan yang
keren, Irumo!, batinku. Yah. Aku bersyukur punya otak keren…
“Ooh…” dia tersenyum manis kearahku. Agak ragu, aku membalas
senyumannya. Aku nggak terbiasa senyum pada orang. Kenapa? Aku nggak
suka. Bukan begitu. Maksudku, bukankah senyuman itu sesuatu yang
khusus? Kau mengerti maksudku bukan?
Entahlah. Mungkin itu bukan pikiran yang lazim…
“Irumo… kamu kenapa?”, tanyanya. Aku menggeleng cepat.
“Bukan apa-apa. Hmm, hey… Mishi. Aku boleh… tanya nggak?”, tanyaku
pelan-pelan. Kuharap aku nggak menyinggungnya kalau aku menanyakannya.
“Hmm apa ?”,tanyanya. Aku berkedip lalu menundukkan kepala dengan tidak nyaman,
“Kamu… punya orang yang kamu suka?”, tanyaku berusaha terlihat cuek
walaupun dalam hati, aku super penasaran. Dia agak tersentak dengan
pertanyaanku. Ada sedikit semburat merah dipipinya lalu terbatuk kecil.
“Ada…”
aku menatapnya. Cukup lama. Bahkan mataku pedas karena kelamaan
menatapnya. Dia nggak menatapku. Nampaknya menyembunyikan sesuatu
dibalik poni ratanya,
“Ah, Irumo tau orangnya kok…”, katanya. Aku terdiam. Aku… kenal
orangnya? Mendadak aku teringat seorang pria berbadan tegap kekar indah
bermata elang dan berdarah Amerika. Fred Alvin.
“… Fred Alvin?”, tanyaku. Mishi menatapku lama, sebelum dia meledak tertawa,
“Hahahaha!”, tawanya. Aku menatapnya bingung. Nggak ada yang lucu.
“Hah? Fred? Well, dia emang tampan… tapi, aku nggak mungkin merebut pacar temanku sendiri kan..?”, katanya setekah tawanya mereda.
“Jadi kalau Fred single, kamu mau dengan dia?”, tanyaku keceplosan dan aku rasa itu kesalahan. Dia menatapku lama. Oh, dia marah?
Tidak.
Ia mengembangkan senyuman lebar dibibir tipisnya.
“Bukan tentang Fred Alvin, Irumo… tapi tentang salah seorangnya lagi…”, katanya lembut. Aku terdiam. Siapa?
Aku?
Aku menatap gadis dihadapanku dengan nggak percaya. Dia memalingkan
wajahnya yang memerah. Aku meraih dagunya lalu menatapnya. Mata kami
bertemu. Aku harus… apa kalau sudah begini?
Masa aku harus menciumnya disaat-saat begini? Sungguh nggak romantis dan ironis. Well, Bukannya sok tau tentang romantis itu apaan. Aku kan suka melihat ibuku menangis menonton drama romantis yang menyedihkan.
Tapi…
“Irumo…”, panggilnya. Baiklah baiklah. Aku nggak tahan lagi…
Aku dekatkan lagi wajahku kewajahnya.
Crek… kresek kresek…
“S*IT –sensor-!!! TIKUS SIALAN!! HUS HUS HUS! MEONG! MEONG! ”,
tiba-tiba diambang pintu, aku mendengar sesuatu. otomatis aku berhenti
dan menoleh kesumber suara. Mataku melotot. Si bodoh bernama Fred
Alvin! Oh maksudku, si penguntit sialan bernama Fred Alvin disana!
“A-aku mau kekamar mandi… J-jaa nee!!”, kata Mishi sambil berlari
keluar kelas. Aku mau meraih tangannya tapi nggak sampai. Oh, ya Tuhan.
Apa-apaan ini?
Aku melirik orang berengsek yang tadi mengganggu ‘acara’-ku, ya. Si
berengsek itu masih disana sambil sibuk memukuli tikus didekat tong
sampah yang nampaknya sudah cukup ketakutan dengan suara jeleknya. Aku
mendengus.
“MEONG MEONG! Ada kucing disini, bung! Makanya jangan dikelas ini!
Yaiks! HEY! Jangan masuk kedalam sepatuku, tikus sialan! Aku baru
mencucinya tau! Kemari! Kubunuh kau!”, Fred semakin gila dengan tikus
itu. Aku menggeleng pelan lalu menatap sinis kearahnya.
“Demi Tuhan, Fred…”, kataku tertahan.
“Apa?”, Fred menatapku sekilas sambil memukuli sepatunya sendiri yang dimasuki tikus itu.
“Pertama, tikus itu nampaknya sudah ketakutan oleh suara jelekmu.
Kedua, kau nggak perlu bersuara seperti kucing karena itu menggelikan.
Ketiga, tikus itu nggak akan ngerti kau ngomong apa. Manusia rendahan,”
komentarku. Fred angkat bahu sambil mengangkat tikus yang nampaknyan
nggak tahan dengan bau kaki Fred lalu Fred membuangnya ke sampah.
Aku menatap Fred lagi. cukup lama. Berharap dia tau kesalahan dia yang paling fatal.
“Apa?”, tanya Fred lagi. dia bahkan nggak sadar…
“Oh, nggak. Nggak apa-apa. Kau. Merusak. Acaraku. Dan kesempatanku!
Yang mungkin hanya seumur hidup! Aaaargh! Bagus sekali…”, kataku sambil
mengacak rambutku sendiri. Fred memandangku.
“Maafkan aku, brad. Aku nggak maksud begitu. Tadi begitu aku
mau masuk kelas, aku melihatmu dan cewek Kyoto itu berciuman dan aku
nggak mau mengganggu kalian. Sebelum tikus itu datang dan masuk kedalam
celana dalamku!”, katanya. Aku menatapnya.
“Wait. Ada kesalahan dalam kalimatmu. Pertama, aku nggak
ciuman sama Mishi. Kedua, kau merusak acaraku, atau ketiga, kau dan
celana dalam bodohmu sebaiknya dipisahkan,” kataku dengan sadis. Fred
menghela nafas.
“Ayolah, brad. Aku beneran nggak sengaja. Lain kali aku nggak
akan melakukannya. Soalnya, kau tahu. Aku dan Maria nggak pernah
keberatan melakukannya. Rasanya seperti… buah anggur?”, Fred malah
membuatku makin merasa jijik.
Satu hal yang perlu kau tahu tentang hidupku ; Hidupku penuh dengan orang-orang tolol.
Aku menatap Fred yang seperti psikopat menatap penuh kemenangan pada
tikus yang tadi ia jamah. Ya seperti dia ini. Orang tolol.
***
Aku nggak ngerti hukum persamaan X dan Y yang terus mutar-mutar
diotakku. Ngomong apaan, sih sensei ini? Aku nggak ngerti sama sekali.
Maksudku, oh ayolah. Fisika. Untuk apa menghitung persamaan huruf-huruf
nggak jelas begitu sebagai pedoman hidup? Nggak akan kupakai seumur
hidupku.
Aku menatap kesampingku. Mishi Nakagama. Nampak sedang serius walau
wajahnya terlihat nggak bisa. Aku tersenyum kecil. Aku harus minta maaf
atas perlakuanku tadi. Harusnya aku nggak boleh begitu (y).
Tapi tiba-tiba dia terbatuk kencang dan membuat seluruh kelas
menatapnya. Ji Yu Min-sensei langsung menatap panik kearah Mishi.
Nampaknya dia tahu sesuatu. aku menatapnya curiga.
“Baiklah, anak-anak. Tunggu sebentar… Mishi… kemari kemari…”, ia
membopong Mishi keluar kelas. Mishi yang begitu pucat masih menutupi
mulutnya. Aku khawatir. Ada apa ini? Aku menatap bangkunya. Mataku
membulat sempurna. Darah ?
Demi Tuhan… ada apa ini…?
***
Aku pergi keruang guru untuk mencari Ji Yu Min-sensei. Aku
mnengok-nengok di ruang Kesehatan . Aku menatap sosok pria tua berumur
40 tahunan yang berdarah Korea. Aku mendanginya.
“Yu Min-sensei… ada apa dengan Mishi?”, tanyaku langsung tanpa basa-basi. Nggak sopan? Well, pikiranku
k acau karena khawatir jadi nggak mau mikirin masalah itu sopan atau
enggak. Ji Yu Min-sensei menatapku lama lalu tersenyum bijak.
“Dia nggak apa-apa… hanya sedikit kecapekan..”, katanya.
“Tapi aku melihat da—“
“Kembalilah kekelasmu. Saya akan kembali sebentar lagi.”, katanya. Aku
terdiam lalu akhirnya memilih menjadi anak baik dan menuruti
perintahnya. Dengan gontai aku kembali kekelas. Tapi, ada yang aneh.
Dia memegang sebuah kertas foto dan cepat-cepat memasukkannya kedalam
tas laptopnya. Aku menyipitkan mataku. Ada apa sebenarnya?
Hmm, Ji Yu Min-sensei. Kalau kau nggak mau memberitahuku, biar diriku sendiri yang memberitahuku…
Aku tersenyum licik lalu kembali kekelasku. Oke, misi seumur hidupku ; mengetahui kebenaran.
***
“Uuh… Irumo? Kau ini sinting ya? Aku nggak mau kena masalah, tau…”, kata Fred. Aku mendelik kearahnya.
“Berisik. Kalau nggak mau ikut, pulang saja sana.”, kataku. Fred
mengerutkan keningnya. Aku memutuskan membiarkan dia ngoceh dan aku
mencari data itu. Aku menelusuri data demi data di dalam tas laptop
sensei-ku sendiri.
“Aku nggak mau tahu kalau sampai ada tikus lagi yang masuk ke celana dalamku. Ah, ya ampun, brad!
Lihatlah tempat ini! Seram! Aku nggak tau selera Ji Yu Min-sensei
mengerikan! Ternyata dia benar-benar bermuka— loh? Ada apa, brad?”, tanyanya menyadari perubahan eskpresiku yang mengeras.
Aku nggak percaya apa yang kulihat.
RUMAH SAKIT KANKER JEPANG ‘TARUKA’
Nama Pasien : Mishi Nakagama
Pekerjaan : Pelajar
Gol. Darah : A
Jenis Kanker : Leukimia stadium 3
Catatatan khusus : Tidak boleh makan makanan terlalu asin dan
tidak boleh makan makanan yang berlemak karena bisa mengakibatkan
penjepitan syaraf pada jantung.
Aku nyaris jantungan melihat gambar bagian dalam tubuh gadis yang
kusukai penuh dengan bercak-bercak merah dan banyak bagian yang rusak.
Aku nggak percaya ini.
“B-Brad? K-kau… nggak apa?”, Fred panik melihatku. Aku
terdiam. Nggak bisa bergerak. Aku nggak bisa terpaku disini dan nangis.
Itu terlalu memalukan! Ya ampun… Mishi… Mishi…
Mendadak aku merasa suhu badanku naik 100 derajat dan peredaran darahku
mengalir lebih cepat dari biasanya serta merta asam lambung yang
tiba-tiba terasa dikerongkonganku. Aku mulai bergetar hebat sambil
menutup mulutku. Fred mengelus-elus punggungku.
“Tenanglah, brad… jangan sedih…”
Aku nggak bisa, Fred! Aku nggak bisa tenang!, batinku dalam hati. Tapi
aku yakin kalau aku bicara, tangisanku akan meledak saat itu juga.
Makanya aku memilih diam dan berusaha sekuat tenaga menahannya.
Kanker… Kanker Leukimia? Stadium 3…?
“Aku nggak mau cepat pulang, aku nggak mau minum obat…”
“Aku flu biasa kok…”
“Iya Irumo benar. Sebentar lagi juga sembuh…”
Aku terdiam. Pantas saja… pantas saja…
Mishi Nakagama. Gadis pertama yang menarik perhatianku adalah seorang
penderita kanker ganas yang belum ditemukan obatnya dimanapun…
Tapi, anehnya… tak sedikitpun berkurang rasa sayangku dan rasa sukaku padanya…
To be Continue~~~
Part 1, Part 3 [End]